Movie Review: Fight Club (1999). In Tyler we trust.

“Memperbaiki diri adalah masturbasi, jadi merusaklah”

Yang kemudian akan mengantarmu pada 21st century breakdown. Reyhard Rumbayan adalah sosok yang menyarankan saya untuk menonton film ini melalui bukunya, Mempersenjatai Imajinasi dimana film ini dibahas pada satu sub bab secara khusus dan menghabiskan sampai 21 halaman, film ini diadaptasi dari sebuah buku dengan judul yang sama karya Chuck Palahniuk yang membuat saya beberapa kali berucap dalam hati “kemana saja kamu selama ini kok baru tahu ada buku sehebat itu dan film sehebat ini”.


Film ini berbicara tentang kritikan pada kapitalisme dan konsumerisme, dikemas dengan narasi oleh pemeran utama yang saya sebut dirinya sebagai narator yang mengantar saya pada premis cerita. Dengan membiarkan footage 20th century fox lewat begitu saja, film ini diawali dengan credit yang berlabuh pada seseorang yang menodongkan pistol ke mulut narator yang kemudian memulai mengisahkan hidupnya tentang bagaimana ia sekarang bisa berada di tempat saat film pertama dimulai.


Narator yang diperankan Edward Norton digambarkan sebagai seorang yang hidup namun mati, seorang pekerja di sebuah perusahaan besar yang memproduksi mobil, tipikal seseorang yang lulus dari universitas dan tak tahu apa yang ia inginkan, terjebak dalam rutinitas memuakkan dan berakhir membusuk di dunia post industrial dimana segala konsep dalam menjalani hidup terbungkus rapi dalam bingkai kapitalisme. Kemuakkan itu terakumulasi menjadi penyakit insomnia yang membuat narator menderita, dokter mengabaikan itu dan menjelaskan bahwa penderitaan sesungguhnya ada di tempat orang-orang dengan kanker testis berkumpul. Di tempat itu dia menemukan obat dari insomnianya dan menjadi rutin menghadiri semacam acara-acara penebusan dosa guna merasa terlahir kembali sampai ia bertemu dengan Marla, gadis yang juga gemar menghadiri acara-acara serupa hanya untuk memburu kopi gratis, munculnya Marla dengan motif yang sama dengan sang narator membuat insomnia itu kambuh kembali dan perkumpulan itu sudah tidak menjadi obat yang ampuh baginya.


Narator sering mencuri kesempatan tidur dalam perjalanan bisnisnya, hanya disitu ia merasa hidup karena saat membuka mata apa yang ada dihadapannya selalu hal hal yang tidak ada artinya, gula sekali pakai, krim sekali pakai, sabun hotel sekali pakai, sampai teman sekali pakai yang ia temui di setiap perjalanannya. Disini muncul karakter Tyler Durden, diperankan oleh aktor yang menjadi pujaan khalayak millenial dengan peran-peran mempesona di setiap filmnya, Brad Pitt. Ia mengobrak-abrik ekspektasi itu dengan sosok peran yang radikal dan revolusioner. Tyler adalah tipikal pemberontak yang melawan segala konsep hidup yang ditawarkan kapitalisme, memiliki tiga pekerjaan; menyambung roll film menjadi utuh, menjadi pelayan di restoran mewah, dan memproduksi sabun mandi, tidak jarang dia menyisipkan potongan gambar porno dalam film-film keluarga, mengencingi minuman dan makanan untuk disajikan pada orang-orang kaya itu, dan untuk memproduksi sabun ia menggunakan bahan baku lemak yang dicuri dari klinik sedot lemak. Tyler membuat narator melihat dunia dengan cara yang berbeda -dalam hal ini tidak terobsesi dengan produk gaya hidup- hingga mereka membentuk sebuah perkumpulan tarung bebas yang bertujuan untuk melampiaskan kemuakkan setiap anggotanya pada perusakkan diri, perkumpulan ini akhirnya menjelma sebagai kelompok terorisme dengan berbagai aksi vandal yang mengasyikkan di setiap kota, dan berujung pada proyek mayhem, sebuah proyek penghancuran gedung perusahaan kartu kredit untuk menghapus semua catatan hutang dan memulai lagi dari nol.

“Orang-orang yang kau kejar adalah orang-orang yang kau butuhkan, kami memasak makananmu, membuang sampahmu, menyambung teleponmu, kami menyetir ambulansmu, kami menjaga saat kau tidur” -Tyler Durden

Yang menambah keren film ini selain representasi anarkisme yang disajikan dan mewakili keresahan orang banyak di generasi ini adalah twist menakjubkan yang membawa kita pada alur cerita yang tidak terprediksi bahwa sebenarnya Tyler Durden adalah rekonstruksi diri dari sang narator. Walau review ini terkesan spoiler, namun dengan adanya spoiler atau tidak itu tidak akan mengurangi keseruan menikmati film ini. Jadi monggo di search filmnya. Banyak bertebaran gratis kok. Ciao! (js)


Gambar diambil sembarangan dari google.

Tinggalkan komentar

Blog di WordPress.com.

Atas ↑

Rancang situs seperti ini dengan WordPress.com
Ayo mulai